Konflik Thailand dan Kamboja pada 2025 merupakan puncak dari ketegangan lama di wilayah perbatasan, terutama terkait klaim wilayah sekitar Candi Preah Vihear dan Ta Muen Thom. Sengketa bermula sejak era kolonial Perancis–Siam, lalu diperkuat oleh putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 1962 yang mengakui Preah Vihear sebagai milik Kamboja. Meski demikian, sebagian wilayah perbatasan masih diperebutkan hingga saat ini, menjadi sumber gesekan diplomatik dan nasionalisme kedua negara.
Eskalasi dan Insiden Sebelum Bentrokan
Awal 2025 diwarnai larangan aktivitas kebangsaan Kamboja di situs perbatasan, diikuti insiden tembakan dan penutupan pos lintas negara oleh Thailand. Upaya dialog kerap gagal, hingga akhirnya terjadi eskalasi militer yang memicu bentrokan terbuka pada Juli 2025.
Bentrokan Juli 2025: Fakta dan Kronologi
Pada 23 Juli, lima tentara Thailand terluka akibat ranjau di Nam Yuen. Thailand menuding aksi tersebut sebagai provokasi militer Kamboja. Empat pos perbatasan ditutup dan status hubungan diplomatik kedua negara menurun tajam.
Perang Terbuka dan Penggunaan Senjata Berat
Bentrokan meluas ke 12 titik perbatasan. Kedua negara menggunakan artileri, roket BM-21, hingga pesawat tempur. Thailand mengklaim menghancurkan tank Kamboja dan menewaskan pasukan lawan, sementara Kamboja membalas dengan serangan rudal yang mengenai fasilitas sipil di Provinsi Sisaket, Thailand.
Korban Jiwa dan Gelombang Pengungsi
Hingga 26 Juli 2025, korban tewas mencapai 32 orang, terdiri dari warga sipil dan militer kedua negara. Lebih dari 200.000 orang mengungsi ke kamp darurat di Thailand dan Kamboja, menimbulkan krisis kemanusiaan dan kebutuhan bantuan mendesak.
Dimensi Politik dan Diplomatik
Konflik juga dipanaskan oleh bocoran rekaman telepon antara PM Thailand Paetongtarn Shinawatra dan mantan PM Kamboja Hun Sen. Isu tekanan politik dan strategi elite kedua negara semakin menyulut eskalasi konflik, memperlihatkan bahwa krisis tak hanya terjadi di medan tempur, tapi juga di arena diplomasi dan propaganda.
Reaksi Internasional dan Upaya Mediasi
PBB, ASEAN, dan Amerika Serikat menyerukan penghentian kekerasan dan menawarkan mediasi. Namun Thailand bersikeras menyelesaikan konflik secara bilateral, menolak campur tangan asing, meski tekanan dunia internasional semakin kuat.
Dampak Sosial dan Humanitarian
Ratusan ribu pengungsi tersebar di kamp-kamp perbatasan, terutama di Surin dan Sisaket (Thailand) serta Batthkoa (Kamboja). Kondisi pengungsian memprihatinkan minim sanitasi, pangan, dan akses kesehatan, menggantungkan hidup pada bantuan kemanusiaan dari lembaga lokal dan internasional.
Tuduhan Kejahatan Perang dan Isu HAM
Kamboja menuduh Thailand menggunakan senjata terlarang seperti cluster bombs dan menyerang fasilitas sipil. Thailand balik menuding provokasi dan serangan ke warga sipil sebagai pelanggaran HAM berat oleh Kamboja. Saling tuduh ini memicu kecaman dan perhatian dari dunia internasional.
Prospek Perdamaian dan Tantangan ke Depan
Setelah tiga hari konflik, tekanan internasional memuncak agar kedua negara mencapai gencatan senjata. Meski belum ada kesepakatan final, Thailand dan Kamboja sepakat untuk membuka komunikasi dan memulai dialog damai dalam waktu dekat.
Ancaman Eskalasi dan Pentingnya Solusi Regional
Konflik ini menjadi yang paling berdarah dalam 13 tahun terakhir. Dengan akar sejarah, keterlibatan elite politik, serta korban sipil yang besar, perdamaian menjadi tantangan berat. Peran ASEAN, PBB, dan negara-negara tetangga sangat penting untuk mencegah krisis meluas dan menjaga stabilitas regional Asia Tenggara.
Ancaman Konflik Berkepanjangan
Konflik Thailand–Kamboja tahun 2025 memperlihatkan betapa rentan hubungan antarnegara bertetangga jika masalah sejarah dan perbatasan tak kunjung terselesaikan. Dengan korban jiwa, krisis pengungsi, dan ancaman konflik berkepanjangan, solusi damai dan diplomasi jadi kebutuhan mutlak. Dunia kini menanti langkah tegas kedua negara menuju perdamaian yang hakiki.